Perkembangan Pesawat Terbang Di Indonesia
PESAWAT TERBANG PRA KEMERDEKAAN INDONESIA
Sejak legenda pewayangan berkembang dalam bagian hidup kebudayaan dan masyarakat Indonesia serta munculnya figur Gatotkaca dalam kisah Bratayuda yang dikarang Mpu Sedah serta figur Hanoman dalam kisah Ramayana adalah personifikasi pemikiran manusia Indonesia untuk bisa terbang. Tampaknya keinginan ini terus terpupuk dalam jiwa dan batin manusia Indonesia sesuai dengan perkembangan jamannya.
Jaman Pemerintah kolonial Belanda tidak mempunyai program perancangan pesawat udara, namun telah melakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, serta evaluasi teknis dan keselamatan untuk pesawat yang dioperasikan di kawasan tropis, Indonesia.
Sejak legenda pewayangan berkembang dalam bagian hidup kebudayaan dan masyarakat Indonesia serta munculnya figur Gatotkaca dalam kisah Bratayuda yang dikarang Mpu Sedah serta figur Hanoman dalam kisah Ramayana adalah personifikasi pemikiran manusia Indonesia untuk bisa terbang. Tampaknya keinginan ini terus terpupuk dalam jiwa dan batin manusia Indonesia sesuai dengan perkembangan jamannya.
Jaman Pemerintah kolonial Belanda tidak mempunyai program perancangan pesawat udara, namun telah melakukan serangkaian aktivitas yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, serta evaluasi teknis dan keselamatan untuk pesawat yang dioperasikan di kawasan tropis, Indonesia.
1914 : Pendirian Bagian Uji Terbang di Surabaya dengan tugas meneliti prestasi terbang pesawat udara untuk daerah tropis.
1922 : Orang Indonesia sudah terlibat memodifikasi sebuah pesawat yang dilakukan di sebuah rumah di daerah Cikapundung sekarang.
1930 : Pembangunan
Bagian Pembuatan Pesawat Udara di Sukamiskin yang memproduksi
pesawat-pesawat buatan Canada AVRO-AL, dengan modifikasi badan dibuat
dari tripleks lokal. Pabrik ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara
Andir (kini Lanud Husein Sastranegara).
1937 : Pada periode itu di bengkel milik pribadi minat membuat pesawat terbang berkembang. delapan tahun sebelum kemerdekaan atas permintaan seorang pengusaha, serta hasil rancangan LW. Walraven dan MV. Patist putera-putera Indonesia yang dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Jl. Pasirkaliki Bandung dengan nama PK.KKH.
1937 : Pada periode itu di bengkel milik pribadi minat membuat pesawat terbang berkembang. delapan tahun sebelum kemerdekaan atas permintaan seorang pengusaha, serta hasil rancangan LW. Walraven dan MV. Patist putera-putera Indonesia yang dipelopori Tossin membuat pesawat terbang di salah satu bengkel di Jl. Pasirkaliki Bandung dengan nama PK.KKH.
Pesawat
ini sempat menggegerkan dunia penerbangan waktu itu karena kemampuannya
terbang ke Belanda dan daratan Cina pergi pulang yang diterbang pilot
berkebangsaan Perancis, A. Duval.
1938 : atas
permintaan LW. Walraven dan MV. Patist - perancang PK.KKH - dibuat lagi
pesawat lebih kecil di bengkel Jl. Kebon Kawung, Bandung.
Pesawat PK-KKH dibuat tahun 1937 di bandung,dimana putera-putera
indonesia terlihat dalam proses pembuatan nya
1945 : Makin
terbuka kesempatan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan impiannya
membuat pesawat terbang sesuai dengan rencana dan keinginan sendiri.
Kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas akan selalu
memerlukan perhubungan udara secara mutlak sudah mulai tumbuh sejak
waktu itu, baik untuk kelancaran pemerintahan, pembangunan ekonomi dan
pertahanan keamanan.
Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai bagian untuk memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dalam bentuk memodifikasi pesawat yang ada untuk misi-misi tempur.
Pada masa perang kemerdekaan kegiatan kedirgantaraan yang utama adalah sebagai bagian untuk memenangkan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dalam bentuk memodifikasi pesawat yang ada untuk misi-misi tempur.
Oktober 1945 Tokoh
pada massa ini adalah Agustinus Adisutjipto, yang merancang dan menguji
terbangkan dan menerbangkan dalam pertempuran yang sesungguhnya.
Pesawat Cureng/Nishikoren peninggalan Jepang yang dimodifikasi menjadi
versi serang darat. Penerbangan pertamanya bulan oktober di atas kota
kecil Tasikmalaya.
1946 : di
Yogyakarta dibentuk Biro Rencana dan Konstruksi pada TRI-Udara. Dengan
dipelopori Wiweko Soepono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan J. Sumarsono
dibuka sebuah bengkel di bekas gudang kapuk di Magetan dekat Madiun.
Dari bahan-bahan sederhana dibuat beberapa pesawat layang jenis Zogling,
NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider).
Pembuatan pesawat ini tidak terlepas dari tangan-tangan Tossin, Akhmad, dkk. Pesawat-pesawat
yang dibuat enam buah ini dimanfaatkan untuk mengembangkan minat
dirgantara serta dipergunakan untuk memperkenalkan dunia penerbangan
kepada calon penerbang yang saat itu akan diberangkatkan ke India guna
mengikuti pendidikan dan latihan.
1948 : Berhasil dibuat pesawat terbang bermotor dengan mempergunakan mesin motor Harley Davidson diberi tanda WEL-X hasil rancangan Wiweko Soepono dan kemudian dikenal dengan register RI-X. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai club aeromodeling, yang menghasilkan perintis teknologi dirgantara, yaitu Nurtanio Pringgoadisurjo.
1948 : Berhasil dibuat pesawat terbang bermotor dengan mempergunakan mesin motor Harley Davidson diberi tanda WEL-X hasil rancangan Wiweko Soepono dan kemudian dikenal dengan register RI-X. Era ini ditandai dengan munculnya berbagai club aeromodeling, yang menghasilkan perintis teknologi dirgantara, yaitu Nurtanio Pringgoadisurjo.
1948 : Pesawat rancangan Wi-weko Soepono diberi tanda WEL-X yang dibuat pada tahun 1948, dengan menggunakan mesin Harley Davidson
Kemudian kegiatan ini terhenti karena pecahnya pemberontakan Madiun dan agresi Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia usaha di atas dilanjutkan kembali di Bandung di lapangan terbang Andir - kemudian dinamakan Husein Sastranegara.
Kemudian kegiatan ini terhenti karena pecahnya pemberontakan Madiun dan agresi Belanda. Setelah Belanda meninggalkan Indonesia usaha di atas dilanjutkan kembali di Bandung di lapangan terbang Andir - kemudian dinamakan Husein Sastranegara.
1953 : kegiatan
ini diberi wadah dengan nama Seksi Percobaan. Beranggotakan 15
personil, Seksi Percobaan langsung di bawah pengawasan Komando Depot
Perawatan Teknik Udara, Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.
1 Agustus 1954 : Berdasarkan
rancangan Nurtanio, berhasil diterbangkan prototip "Si Kumbang", sebuah
pesawat serba logam bertempat duduk tunggal yang dibuat sesuai dengan
kondisi negara pada waktu itu. Pesawat ini dibuat tiga buah.Si Kumbang,
sebuah pesawat serba logam bertempat duduk tunggal rancangan Nurtanio
Pringgoadisuryo yang diterbangkan pada Agustus 1954.
24 April 1957 Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi Sub Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No. 68.
24 April 1957 Seksi Percobaan ditingkatkan menjadi Sub Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan berdasar Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara No. 68.
1958 : berhasil
diterbangkan prototip pesawat latih dasar "Belalang 89" yang ketika
diproduksi menjadi Belalang 90. Pesawat yang diproduksi sebanyak lima
unit ini dipergunakan untuk mendidik calon penerbang di Akademi Angkatan
Udara dan Pusat Penerbangan Angkatan Darat.
Di
tahun yang sama berhasil diterbangkan pesawat oleh raga "Kunang 25".
Filosofinya untuk menanamkan semangat kedirgantaraan sehingga diharapkan
dapat mendorong generasi baru yang berminat terhadap pembuatan pesawat
terbang.
PENDIRIAN INDUSTRI PESAWAT TERBANG DI INDONESIA
1 Agustus 1960 : Sesuai
dengan Keputusan Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara No. 488, 1 Agustus
1960 dibentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan/LAPIP. Lembaga yang
diresmikan pada 16 Desember 1961 ini bertugas menyiapkan pembangunan
industri penerbangan yang mampu memberikan dukungan bagi penerbangan di
Indonesia.
1960 : Lembaga Persiapan Industri Pesawat Terbang (LAPIP) didirikan.
1961 : LAPIP
mewakili pemerintah Indonesia dan CEKOP mewakili pemerintah Polandia
mengadakan kontrak kerjasama untuk membangun pabrik pesawat terbang di
Indonesia. Kontrak meliputi pembangunan pabrik , pelatihan karyawan
serta produksi di bawah lisensi pesawat PZL-104 Wilga, lebih dikenal
Gelatik. Pesawat yang diproduksi 44 unit ini kemudian digunakan untuk
dukungan pertanian, angkut ringan dan aero club.
1962 : Pendirian bIdang Studi Teknik Penerbangan di ITB
1963 : Pembentukan DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa Republik Indonesia).
Maret 1965: Proyek
KOPELAPIP (Komando Pelaksana Persiapan Industri Pesawat Tebang)
dimulai. Proyek ini bekerjasama dengan Fokker, KOPELAPIP tak lain
merupakan proyek pesawat terbang komersial.
1965 :
melalui SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan Komando Pelaksana
Proyek Industri Pesawat Terbang (KOPELAPIP) - yang intinya LAPIP -
serta PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari.
Maret 1966 : Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.
1962 : berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie.
Maret 1966 : Nurtanio gugur ketika menjalankan pengujian terbang, sehingga untuk menghormati jasa beliau maka LAPIP menjadi LIPNUR/Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam perkembangan selanjutnya LIPNUR memproduksi pesawat terbang latih dasar LT-200, serta membangun bengkel after-sales-service, maintenance, repair & overhaul.
1962 : berdasar SK Presiden RI - Presiden Soekarno, didirikan jurusan Teknik Penerbangan ITB sebagai bagian dari Bagian Mesin. Pelopor pendidikan tinggi Teknik Penerbangan adalah Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie.
Kedua
tokoh ini adalah bagian dari program pengiriman siswa ke luar negeri
(Eropa dan Amerika) oleh Pemerintah RI yang berlangsung sejak tahun
1951. Usaha-usaha mendirikan industri pesawat terbang memang sudah
disiapkan sejak 1951, ketika sekelompok mahasiswa Indonesia dikirim ke
Belanda untuk belajar konstruksi pesawat terbang dan kedirgantaraan di
TH Delft atas perintah khusus Presiden RI pertama. Pengiriman ini
berlangsung hingga tahun 1954. Dilanjutkan tahun 1954 - 1958 dikirim
pula kelompok mahasiswa ke Jerman, dan antara tahun 1958 - 1962 ke
Cekoslowakia dan Rusia.
Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.
Sementara itu upaya-upaya lain untuk merintis industri pesawat terbang telah dilakukan pula oleh putera Indonesia - B.J. Habibie - di luar negeri sejak tahun 1960an sampai 1970an. Sebelum ia dipanggil pulang ke Indonesia untuk mendapat tugas yang lebih luas. Di tahun 1961, atas gagasan BJ. Habibie diselenggarakan Seminar Pembangunan I se Eropa di Praha, salah satu adalah dibentuk kelompok Penerbangan yang di ketuai BJ. Habibie.
PERINTISAN PESAWAT TERBANG DI INDONESIA
Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah.7)
Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.
25 Juni 1936 : Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, Bacharudin Jusuf Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.
1964 : Menjelang mencapai gelar doktor, ia berkehendak kembali ke tanah air untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk menggali pengalaman lebih banyak, karena belum ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966 ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke Jerman beliau meminta Habibie, menemuinya dan ikut memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.
Menyadari bahwa usaha pendirian industri tersebut tidak bisa dilakukan sendiri., maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk suatu saat bekerja pada pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk sebuah tim.
Ada lima faktor menonjol yang menjadikan IPTN berdiri, yaitu : ada orang-orang yang sejak lama bercita-cita membuat pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; ada orang-orang Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi membuat dan membangun industri pesawat terbang; adanya orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdedikasi tinggi menggunakan kepandaian dan ketrampilannya bagi pembangunan industri pesawat terbang; adanya orang yang mengetahui cara memasarkan produk pesawat terbang secara nasional maupun internasional; serta adanya kemauan pemerintah.7)
Perpaduan yang serasi faktor-faktor di atas menjadikan IPTN berdiri menjadi suatu industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.
25 Juni 1936 : Awalnya seorang pria kelahiran Pare-Pare, Sulawesi Selatan, Bacharudin Jusuf Habibie. Ia menimba pendidikan di Perguruan Tinggi Teknik Aachen, jurusan Konstruksi Pesawat Terbang, kemudian bekerja di sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.
1964 : Menjelang mencapai gelar doktor, ia berkehendak kembali ke tanah air untuk berpartisipasi dalam pembangunan Indonesia. Tetapi pimpinan KOPELAPIP menyarankan Habibie untuk menggali pengalaman lebih banyak, karena belum ada wadah industri pesawat terbang. Tahun 1966 ketika Menteri Luar Negeri, Adam Malik berkunjung ke Jerman beliau meminta Habibie, menemuinya dan ikut memikirkan usaha-usaha pembangunan di Indonesia.
Menyadari bahwa usaha pendirian industri tersebut tidak bisa dilakukan sendiri., maka dengan tekad bulat mulai merintis penyiapan tenaga terampil untuk suatu saat bekerja pada pembangunan industri pesawat terbang di Indonesia yang masih dalam angan-angan. Habibie segera berinisiatif membentuk sebuah tim.
Awal 1970 : Dari
upaya tersebut berhasil dibentuk sebuah tim sukarela yang kemudian
berangkat ke Jerman untuk bekerja dan menggali ilmu pengetahuan dan
teknologi di industri pesawat terbang Jerman tempat Habibie bekerja. tim
ini mulai bekerja di HFB/MBB untuk melaksanakan awal rencana tersebut.
Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus sebagai agen pembangunan nasional. Dengan kapasitas itu Pertamina membangun industri baja Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan teknologi dari negara maju ke Indonesia secara konsepsional yang berkerangka nasional. Alih teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.
Desember 1973 : terjadi pertemuan antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf - Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke Indonesia secepatnya.
Januari 1974 : Langkah pasti ke arah mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina dibentuk divisi baru yang berurusan dengan teknologi maju dan teknologi penerbangan.
Pada saat bersamaan usaha serupa dirintis oleh Pertamina selaku agen pembangunan. Kemajuan dan keberhasilan Pertamina yang pesat di tahun 1970 an memberi fungsi ganda kepada perusahaan ini, yaitu sebagai pengelola industri minyak negara sekaligus sebagai agen pembangunan nasional. Dengan kapasitas itu Pertamina membangun industri baja Krakatau Steel. Dalam kapasitas itu, Dirut Pertamina, Ibnu Sutowo (alm) memikirkan cara mengalihkan teknologi dari negara maju ke Indonesia secara konsepsional yang berkerangka nasional. Alih teknologi harus dilakukan secara teratur, tegasnya.
Desember 1973 : terjadi pertemuan antara Ibnu Sutowo dan BJ. Habibie di Dusseldorf - Jerman. Ibnu Sutowo menjelaskan secara panjang lebar pembangunan Indonesia, Pertamina dan cita-cita membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Dari pertemuan tersebut BJ. Habibie ditunjuk sebagai penasehat Direktur Utama Pertamina dan kembali ke Indonesia secepatnya.
Januari 1974 : Langkah pasti ke arah mewujudkan rencana itu telah diambil. Di Pertamina dibentuk divisi baru yang berurusan dengan teknologi maju dan teknologi penerbangan.
26 Januari 1974 : Tepat dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, BJ.
Habibie diminta menghadap Presiden Soeharto. Pada pertemuan tersebut
Presiden mengangkat Habibie sebagai penasehat Presiden di bidang
teknologi. Pertemuan tersebut merupakan hari permulaan misi Habibie
secara resmi.
Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas melahirkan Divisi Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang.
September 1974 : Pertamina - Divisi Advanced Technology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.
Melalui pertemuan-pertemuan tersebut di atas melahirkan Divisi Advanced Technology & Teknologi Penerbangan Pertamina (ATTP) yang kemudian menjadi cikal bakal BPPT. Dan berdasarkan Instruksi Presiden melalui Surat Keputusan Direktur Pertamina dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang.
September 1974 : Pertamina - Divisi Advanced Technology menandatangani perjanjian dasar kerjasama lisensi dengan MBB - Jerman dan CASA - Spanyol untuk memproduksi BO-105 dan C-212.
PENDIRIAN
Ketika
upaya pendirian mulai menampakkan bentuknya - dengan nama Industri
Pesawat Terbang Indonesia/IPIN di Pondok Cabe, Jakarta - timbul
permasalahan dan krisis di tubuh Pertamina yang berakibat pula pada
keberadaan Divisi ATTP, proyek serta programnya - industri pesawat
terbang. Akan tetapi karena Divisi ATTP dan proyeknya merupakan wahana
guna pembangunan dan mempersiapkan tinggal landas bagi bangsa Indonesia
pada Pelita VI, Presiden menetapkan untuk meneruskan pembangunan
industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.April 1975 Maka berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, tanggal 15 April 1975 dipersiapkan pendirian industri pesawat terbang. Melalui peraturan ini, dihimpun segala aset, fasilitas dan potensi negara yang ada yaitu : - aset Pertamina, Divisi ATTP yang semula disediakan untuk pembangunan industri pesawat terbang dengan aset Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio/LIPNUR, AURI - sebagai modal dasar pendirian industri pesawat terbang Indonesia. Penggabungan aset LIPNUR ini tidak lepas dari peran Bpk. Ashadi Tjahjadi selaku pimpinan AURI yang mengenal BJ. Habibie sejak tahun 1960an.Dengan modal ini diharapkan tumbuh sebuah industri pesawat terbang yang mampu menjawab tantangan jaman.
28 April 1976 berdasar Akte Notaris No. 15, di Jakarta didirikan PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dengan Dr, BJ. Habibie selaku Direktur Utama. Selesai pembangunan fisik yang diperlukan untuk berjalannya program yang telah dipersiapkan.
23 Agustus 1976 Presiden
Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini. Dalam perjalanannya
kemudian, pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio
berubah menjadi PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.
Desember 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.
Desember 1976 cakrawala baru tumbuhnya industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia di mulai. Di periode inilah semua aspek prasarana, sarana, SDM, hukum dan regulasi serta aspek lainnya yang berkaitan dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang berusaha ditata. Selain itu melalui industri ini dikembangkan suatu konsep alih/transformasi teknologi dan industri progresif yang ternyata memberikan hasil optimal dalam penguasaan teknologi kedirgantaraan dalam waktu relatif singkat, 24 tahun.
(Pesawat Buatan IPTN N250)
IPTN
berpandangan bahwa alih teknologi harus berjalan secara integral dan
lengkap mencakup hardware, software serta brainware yang berintikan pada
faktor manusia. Yaitu manusia yang berkeinginan, berkemampuan dan
berpen- dirian dalam ilmu, teori dan keahlian untuk melaksanakannya
dalam bentuk kerja. Berpijak pada hal itu IPTN menerapkan filosofi
transformasi teknologi "BERMULA DI AKHIR, BERAKHIR DI AWAL".
Suatu
falsafah yang menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap
dalam suatu proses yang integral dengan berpijak pada kebutuhan obyektif
Indonesia. Melalui falsafah ini teknologi dapat dikuasai secara utuh
menyeluruh tidak semata-mata materinya, tetapi juga kemampuan dan
keahliannya. Selain itu filosofi ini memegang prinsip terbuka, yaitu
membuka diri terhadap setiap perkembangan dan kemajuan yang dicapai
negara lain.
Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih teknologi terbagi dalam : Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,
Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membuat pesawat terbang tidak harus dari komponen dulu, tapi langsung belajar dari akhir suatu proses (bentuk pesawat jadi), kemudian mundur lewat tahap dan fasenya untuk membuat komponen. Tahap alih teknologi terbagi dalam : Tahap penggunaan teknologi yang sudah ada/lisensi,
- Tahap integrasi teknologi,
- Tahap pengembangan teknologi,
- Tahap penelitian dasar
Sasaran
tahap pertama, adalah penguasaan kemampuan manufacturing, sekaligus
memilih dan menentukan jenis pesawat yang sesuai dengan kebutuhan dalam
negeri yang hasil penjualannya dimanfaatkan menambah kemampuan berusaha
perusahaan. Di sinilah dikenal metode "progressif manufacturing
program". Tahap kedua dimaksudkan untuk menguasai kemampuan
rancangbangun sekaligus manufacturing. Tahap ketiga, dimaksudkan
meningkatkan kemampuan rancangbangun secara mandiri. Sedang tahap
keempat dimaksudkan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka
mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.
Selama 24 tahun IPTN relatif berhasil melakukan transformasi teknologi, sekaligus menguasai teknologi kedirgantaraan dalam hal disain, pengembangan, serta pembuatan pesawat komuter regional kelas kecil dan sedang.
IPTN meredifinisi diri ke dalam "DIRGANTARA 2000" dengan melakukan orientasi bisnis, dan strategi baru menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi. Untuk itu IPTN melaksanakan program retsrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, serta penataan kembali sumber daya manusia yang menfokuskan diri pada pasar dan misi bisnis.
Kini dalam masa "survive" IPTN mencoba menjual segala kemampuannya di area engineering - dengan menawarkan jasa disain sampai pengujian -, manufacturing part, komponen serta tolls pesawat terbang dan non-pesawat terbang, serta jasa pelayanan purna jual.
24 Agustus 2000 : Seiring
dengan itu IPTN merubah nama menjadi PT. DIRGANTARA INDONESIA atau
Indonesian Aerospace/IAe yang diresmikan Presiden Abdurrahman Wahid, 24
Agustus 2000 di Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar